Sensasi Berjalan Di Bawah Salju Ala Habibie
Bagi para pembaca yang sudah
menyaksikan film bertajuk Habibie & Ainun pasti tahu bahwa ada
sebuah adegan dimana Habibie harus berjalan di bawah guyuran salju
dengan temperatur di bawah -10 derajat Celcius. Beliau harus menggigil
karena pakaian yang dimiliki tidak tebal-tebal amal untuk menahan
“sentuhan” udara dingin yang begitu menusuk. Belum lagi sepatunya yang
tidak cukup untuk menepis dinginnya salju yang terhampar bak karpet
putih yang harus dilewatinya. Namun, akhirnya beliau begitu kuat dengan
semua itu. Udara dingin tidak dapat menghalangi semangat menggebunya
untuk mencari penghidupan demi kehidupan keluarga.
Mungkin ada sebagian dari kita yang akan
mengatakan bahwa berjalan di bawah guyuran salju itu sesuatu yang
sangat seru. Bisa bermain-main dengan salju. Bisa berlari-lari dan
berseluncur. Namun, apakah itu juga yang dirasakan seorang Habibie saat
harus menembus dinginnya udara malam yang diselingi jatuhnya
tetesan-tetesan halus putih dari langit itu? Hal itu tidak sepenuhnya
benar.
Sebenarnya, hal ini tidak muncul secara spontan dalam benak saya. Dapat dipastikan bahwa ini hanya pikiran nyeleneh
saya saja. Paling tidak saya hanya ingin mendekati kondisi Habibie saat
itu terkait dengan aspek eksternal yang beliau alami (suhu dan cuaca)
dan bukan untuk meniru aspek internal (semangat dan kualitas) beliau
karena saya sadar bahwa menyamakan semangat dan kualitas seorang Habibie
dengan saya pasti ibarat pungguk merindukan bulan. Maka, sadar akan
keterbatasan saya, paling tidak saya ingin merasakan ‘nikmatnya’
berjalan di bawah suhu minus lagi bersalju.
Maka, saya pun mulai berjalan menuju
kampus saya yang akan memakan waktu sekitar 30 menit jika ditempuh
dengan berjalan kaki. Ini adalah rutinitas saya setiap hari. Mungkin
sedikit lelah juga, namun momen ini adalah momen terbaik bagi saya
karena bisa sekaligus berolahraga. Jadi, saya begitu menikmati aktivitas
ini. Namun, yang membuat saya semakin tidak berdaya adalah di saat pada
hari Selasa (22 Januari 2013), suhu udara turun drastis ke titik -14
derajat Celcius. Jika selama ini saya mampu berjalan kaki, mungkin itu
karena suhu udara yang masih berbaik hati untuk ‘tidak menggigit’
sekujur tubuh saya. Namun, apa yang saya rasakan kemarin adalah sesuatu
yang lain di mana untuk pertama kalinya saya harus menembus suhu minus
sambil berjalan kaki menuju kampus. Saya pun nekat mencobanya.
Apa yang kemudian terjadi?
Gila…temperatur seperti ini ternyata membuat saya kram. Kaki dan
jari-jari saya seakan sulit digerakkan. Belum lagi area wajah saya yang
seperti dituduk-tusuk. Telinga pun mulai terasa kram dan menebal.
Padahal saat itu saya sudah mengenakan jaket yang lumayan teballah
walaupun alas kaki saya tidak terlalu tebal. Hidung saya tidak
henti-hentinya mengeluarkan cairan bening untuk kemudian ditarik kembali
masuk ke ‘peraduannya’. Dan sesekali cairan itu saya bersihkan dengan
sarung tangan saya. Hehehe.
Namun, Alhamdulillah saya sampai juga di
kampus. Aktivitas ini saya ulangi kembali saat berjalan pulang dari
kampus. Adegan-adegan di atas mau tidak mau harus saya alami kembali
walaupun suhunya sudah mulai naik sedikit menjadi -12 derajat pada siang
harinya.
Sesampai di rumah, saya tiba-tiba
terpikir tentang seorang Habibie. Mungkin saja apa yang beliau rasakan
saat itu dimana beliau harus berjalan di bawah guyuran salju dan
dibaluti suhu dingin yang menusuk sedikit banyak sama dengan apa yang
saya rasakan, bahkan lebih parah lagi. Tentu, tidak akan sama persis.
Misalnya saja jarak tempuh yang beliau lalui lebih panjang, beliau juga
harus berjalan di malam hari yang praktis akan lebih dingin, dan pakaian
yang beliau kenakan mungkin lebih tipis dibandingkan saya. Intinya,
saya tetap meyakini bahwa beliau tentu lebih besar cobaannya dalam
menghadapi cuaca dingin tersebut dibandingkan saya.
Namun, ada satu hal yang membuat saya
sedikit tersenyum. Apa itu? Dengan asumsi yang saya bangun di awal tadi,
maka dapat dipastikan bahwa Habibie harus menahan rasa dingin yang
begitu menusuk dan menyiksa. Akan tetapi, semua itu tidak akan
berlangsung lama. Mengapa? Karena sesampai di rumah, beliau disambut
oleh senyuman hangat dari Ainun. Sedingin-dinginnya cuaca, namun akan
segera menjadi hangat tatkala melihat senyuman Ainun. Mungkin begitu
kira-kira yang Habibie rasakan saat itu. Walaupun menggigil, tetapi
secangkir teh hangat yang disajikan dengan penuh cinta oleh Ainun,
praktis akan mengubah suasana menjadi lebih hangat. Meskipun badan
menjadi kram, tetapi menjadi relaks kembali setelah pijatan penuh cinta
dari sang istri. Paling tidak, untuk hal yang satu ini, saya masih bisa
berbangga karena rasa tersiksa karena suhu minus yang saya alami mungkin
lebih parah dibandingkan beliau.
Mengapa? Yah..terang saja. Saya kan
masih sendiri. Belum beristri. Hehehehe. Rasa kram yang saya alami
praktis bertambah kram saat sampai di rumah karena tidak ada yang bisa
memijat. Rasa dingin yang begitu menusuk pun tidak serta-merta menjadi
hangat karena di apartemen, saya bukannya melihat senyuman seorang
istri, tetapi justru seyuman roommate saya yang berbadan kekar.
Hehehe. Begitu pula dengan kondisi badan yang menggigil tidak akan
berubah seketika oleh sajian teh hangat yang sudah menunggu di meja
karena pastinya saya harus menyiapkannya sendiri. Tapi, untunglah saya
masih bisa menikmati secangkir teh hangat buatan saya tersebut ditemani
oleh media internet yang saat itu belum ada. Hehe.
Salam.
Selamat beristirahat.
Komentar
Posting Komentar