Anis, Anas, dan Anies
Yah… sosok Anis Matta, Anas Urbaningrum
dan Anies Baswedan bagi saya adalah sosok pemimpin muda Indonesia.
Selayaknya, tidak pantas saya mencoba membandingkan ke-3 sosok pemimpin
muda di atas. Hal ini didasari oleh berbagai macam perbedaan yang
dimiliki oleh ke-3 orang tersebut. Lantas mengapa judul tulisan ini
terkesan membandingkan? Tanpa menafikkan ratusan bahkan ribuan
pemimpin-pemimpin muda Indonesia lain, semisal Abraham Samad dan banyak
CEO berprestasi di negeri ini, paling tidak ke-3 orang ini memiliki nama
depan yang hampir mirip, sebaya, sedang mengemban tugas sebagai
pemimpin di institusi masing-masing dan sedang menjadi trending topic di negara ini.
Siapa sih yang tidak kenal Anis Matta?
Mantan sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) selama 3 periode ini
lahir di Bone, 7 Desember 1968 (45 tahun). Namanya semakin berkibar
setelah pada tanggal 1 Februari 2013, tampuk presiden PKS harus
diembannya pasca penetapan presiden sebelumnya, Luthfi Hasan Ishaq,
sebagai tersangka kasus suap impor daging sapi. Bersamaan dengan itu,
Anis meletakkan jabatannya sebagai wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat
RI periode 2009-2014 sekaligus mencabut status keanggotaannya di DPR.
Tugas baru Anis sebagai presiden PKS
tidaklah mudah. Justru tantangan yang dihadapinya begitu berat akibat
imbas dari isu penyuapan yang didera LHI yang notabene presiden salah
satu partai Islam di republik ini. Anis bertanggung jawab untuk
mengembalikan semangat, spirit, dan menumbuhkan kembali optimisme para
kader dan simpatisan PKS yang terjun bebas. Tugas ini tentunya sangat
berat. Belum lagi hasil survey SMRC baru-baru ini yang mendapuk PKS tidak mampu mencapai angka 5% sebagai electoral threshold.
Namun, dengan keyakinan yang kuat, dan memang itulah salah satu
karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin, Anis menerima tanggung
jawab ini tentunya dengan kesadaran yang baik.
Terlepas dari segala kontroversinya,
misalnya isu gaya hidup hedonisnya dan isu penggelapan dana partai, Anis
Matta merupakan sosok pemimpin muda yang potensial. Kemampuan orasinya
dibarengi dengan kualitas keilmuan yang mumpuni. Saya pernah membaca
sebuah artikel yang menceritakan prestasi Anis semasa mengenyam
pendidikan S1 nya di LIPIA. Salah seorang dosennya mengatakan, “Jika ada
level yang lebih tinggi dari mumtaz, maka Anis akan mencapai itu”.
Sosok yang menyelesaikan kursus pendidikan di Lemhanas ini pun aktif
menelurkan banyak karya sastra berupa buku-buku yang cukup bagus.
Jika Anis menjadi presiden PKS, maka Anas Urbaningrum
sedang mengemban amanah sebagai ketua umum partai Demokrat. Alumni HMI
ini lahir di Blitar, 15 Juli 1969 (44 tahun). Pada tahun 2010, Anas
berhasil merengkuh jabatan sebagai ketum PD setelah menyingkirkan 2
pesaingnya, yakni Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie.
Dengan jabatan yang cukup strategis ini,
bukan berarti Anas bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Jabatannya
terus digoyang pasca ditangkapnya M. Nazaruddin, sang mantan bendahara
PD, akibat korupsi di banyak venue, termasuk kasus Hambalang.
Dalam persidangan, nama Anas selalu “dinyanyikan” oleh banyak saksi
maupun Nazaruddin sendiri. Menyikapi hal ini, maka muncullah kalimat
yang sampai sekarang begitu populer di kalangan masyarakat, “Jika Anas korupsi, maka gantung Anas di Monas”.
Tidak sampai di situ, kursi ketum Anas
kembali digoyang setelah setahun menjelang pemilu 2014, elektabilitas PD
tidak memuaskan. Tidak tanggung-tanggung, SBY, sang ketua dewan
pembina, angkat bicara terkait hal ini. SBY bahkan sempat
menginstruksikan agar KPK segera menyelesaikan kasus Hambalang yang
notabene sering dikaitkan dengan Anas. Diisukan bahwa SBY ingin Anas
segera dilengserkan untuk menjaga citra partai.
Namun, suka atau tidak, sampai sekarang
Anas masih berdiri dengan gagahnya sebagai ketum PD. Tidak mungkin Anas
bisa bertahan sampai sejauh ini jika Anas bukanlah orang yang kuat dan
cerdas. Hal ini memang terlihat dari rekam jejaknya yang pernah
menjajaki jabatan sebagai ketua umum HMI dan tengah merampungkan
pendidikan doktornya di bidang politik di UGM.
Jika Anis dan Anas merupakan sosok pemimpin muda di ranah politik, maka lain lagi dengan sosok Anies Baswedan.
Rektor Universitas Paramadina ini lahir di Kuningan, 7 Mei 1969 (44
tahun). Anies adalah idola banyak kaum muda di Indonesia saat ini dengan
segala sepak terjangnya di dunia kependidikan yang berbuah banyak
penghargaan. Salah satunya adalah 100 Tokoh Intelektual Muda Dunia versi
Majalah Foreign Policy pada tahun 2008. Pada tahun 2010, nama
Anies kembali masuk dalam 20 tokoh yang membawa perubahan dunia untuk
20 tahun mendatang versi majalah Foresight.
Dengan seabrek prestasinya, Anies
dipercaya mengemban amanah sebagai rektor Universitas Paramadina, saat
usianya 38 tahun dan merupakan rektor termuda saat itu. Berbagai
gebrakan dilakukannya baik dalam lingkup universitasnya maupun dalam
lingkup yang lebih besar lagi. Salah satu programnya yang sangat dikenal
adalah Gerakan Indonesia Mengajar. Gebrakan ini merupakan salah satu
bukti nyata peranannya dalam memajukan dunia pendidikan di negeri ini.
Jika Anis dan Anas selalu menghiasi
media dengan ragam berita yang sebagian besar bernada sinis, maka hal
itu tidak berlaku untuk Anies. Rata-rata berita yang diturunkan tentang
beliau bernada positif. Bahkan, Anies sempat digadang-gadang untuk maju
ke ranah pemilihan presiden 2014 mendatang. Namun, Anies menolaknya
dengan tegas.
Sekali lagi, mungkin ada di antara
kompasianer yang menyatakan bahwa tidak pantas membandingkan antara Anis
dan Anas, yang selalu dikaitkan dengan kasus korupsi, dengan Anies yang
jauh dari isu korupsi . Namun, bagi saya, terlepas dari segala
kontroversi yang ada tentang Anis dan Anas, suka atau tidak, diterima
atau tidak, kita tidak bisa memungkiri bahwa mereka adalah sosok
pemimpin yang memimpin banyak orang di usia muda di tengah ganasnya
dunia politik di negeri ini. Anis, Anas dan Anies, dengan nama depan
yang mirip dan umur yang sebaya, sudah menunjukkan bahwa usia muda bukan
menjadi penghalang untuk berkarya. Di saat beberapa lembaga terjebak
pada kefiguran tokoh-tokohnya yang sudah senja, calon-calon pemimpin
muda justru seolah tidak dipercaya. Belum berpengalaman dan emosional
adalah alasan utama penolakan estafet kepemimpinan kepada kaum muda.
Calon-calon pemimpin muda dianggap belum saatnya untuk memimpin dan
tidak kapabel.
Salam.
Komentar
Posting Komentar