Dilema Sang Guru; Apatisnya Orang Tua

Pada siapakah sebenarnya tanggung jawab terbesar terkait pendidikan anak-anak kita? Guru sebagai tenaga pendidik? Apakah pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, sebagai pengambil kebijakan tertinggi dalam ranah pendidikan di negeri ini? Atau para kepala daerah, bupati dan gubernur, dengan program pendidikan gratisnya? Ataukah tanggung jawab terbesar pendidikan anak ada pada orang tua?

Memulai tulisan ini, mari kita jawab pertanyaan di atas.

Secara pribadi, saya menilai bahwa pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan anak adalah orang tua. Orang tua menjadi titik sentral dalam penentuan masa depan anak. Tanggung jawab yang dipikul orang tua tidaklah ringan karena harus memikirkan bagaimana sang anak mendapatkan pendidikan yang layak. Orang tua yang apatis terhadap pendidikan anak, maka dia bukanlah orang tua yang baik. Sebaliknya, orang tua yang selalu care dengan edukasi anaknya pasti akan mendapatkan hasil positif dari investasi yang dilakukannya tersebut.

Adapun pihak-pihak di luar orang tua, guru, kemendikbud, dan pejabat pengambil kebijakan lainnya, hanya menjadi pendukung saja. Artinya, sekeras, sekuat, dan sebrilian apapun langkah yang diambil oleh pihak-pihak pendukung ini untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, niscaya tidak akan pernah bisa menelurkan hasil prima tatkala faktor utama dalam pendidikan, yakni orang tua, tidak terlibat penuh. Maka, tidak mengherankan berbagai bentuk strategi pembelajaran dan trik telah diaplikasikan, namun pada saat yang sama, angka tawuran meningkat, seks dikalangan remaja booming, dan pemakai narkoba di kalangan anak sekolah pun begitu memprihatinkan. Siapa yang salah? Apakah karena gurunya yang kurang bisa mendidik di sekolah? Atau pemerintah yang tidak bisa membuat peraturan yang baik? Bisa saja. Namun, sekali lagi mereka hanyalah faktor pendukung. Yang mengambil porsi terbesar kesalahan adalah orang tua sang anak yang cenderung apatis terhadap segala tingkah laku anaknya dengan berbagai macam alasan.

Berangkat dari sinilah, saya merasa tidak nyaman jika segala kesalahan yang dilakukan oleh sang anak, terutama di bangku sekolah, menjadi tanggung jawab sang guru. Biar bagaimanapun, guru hanya menjadi salah satu supporting agent terhadap proses keberhasilan pendidikan anak. Namun, apa yang terjadi sekarang? Guru seakan menjadi tokoh sentral sekaligus menjadi tokoh antagonis jika anak muridnya melakukan kesalahan.

Begitu mengherankan memang tatkala banyak orang tua sekarang yang seolah melepas tanggung jawab dalam mendidik anaknya. Semuanya diserahkan kepada guru. Orang tua, mungkin karena kesibukan mencari uang, lupa akan tanggung jawabnya. Alhasil, sekolah seolah menjadi tempat penampungan para anak yang kehilangan kasih sayang orang tuanya. Dan guru dijadikan robot yang dipercaya dapat mengubah perangai yang buruk menjadi baik dan yang sudah baik menjadi lebih baik lagi.

Lucunya lagi, pada saat guru mencoba berlaku tegas untuk menegakkan nilai-nilai kedisiplinan pada anak, misalnya dengan memberi hukuman, orang tuapun menjadi lini pertama membela anaknya. Ketika dikirimkan surat peringatan atas tingkah anaknya, orang tua pun murka. Saat dikeluarkan dari sekolah, orang tua ngamuk-ngamuk. Yang salah sekolah. Yang salah guru. Anak tidak pernah salah. Seperti itulah yang ada di benak orang tua tersebut, bahkan sebagian dari kita pun mungkin berpikiran yang sama. Ironisnya, orang tua tidak pernah introspeksi diri. Yang ada justru menganggap anaknya bak malaikat, tidak pernah salah, serta sibuk menyalahkan pihak lain. Dalam hal ini, gurulah yang pertama kali mendapatkan dampratnya. Maka, tidak mengherankan di saat sekarang ini kasus orang tua melaporkan guru ke kepolisian seakan sudah lumrah. Berdasarkan laporan sang anak yang mengaku dipukul guru, orang tua pun kalap dan naik pitam tanpa pernah mau mengklarifikasi kenapa sang guru melakukan hal itu. Sebaliknya, justru tidak pernah ada laporan anak melaporkan orang tuanya ke kepolisian dengan alasan “menganiaya” haknya sebagai anak karena terlalu sibuk dengan urusan fulus.

Belum lagi peranan media yang terus-menerus menulis berita yang menyudutkan sang guru. Pokoknya, jika ada kasus yang mempertemukan antara anak versus guru, bisa dipastikan, media akan mendukung sang anak. Anak selalu menjadi objek dan guru menjadi subyek. Selalu saja seperti itu. Saya pernah membaca berita dimana guru dilaporkan ke polisi oleh sang anak dan orang tua karena menampar pipi “tembem” sang anak. Padahal dari foto artikel tersebut, terlihat jelas bahwa sang anak yang sudah SMA itu memang berpenampilan preman (maaf, saya tidak dapat link beritanya). Padahal, mungkin saja sang guru menampar sang anak karena memang sudah tidak mempan oleh nasehat, peringatan, dan langkah lain. Okelah jika menampar itu tidak boleh. Sekarang jika diambil jalan lain, misalnya dikeluarkan dari sekolah, saya yakin orang tua pun mencak-mencak tidak terima. Jadi, apa yang harus dilakukan? Guru itu juga manusia yang memiliki keterbatasan dalam kesabarannya. Ironisnya, sebagian orang tua tidak mau tahu akan hal ini. Mereka tetap beranggapan guru dan sekolah lah yang salah.

Di berita lainnya, menurut sang guru, ada anak yang mengacungkan jari tengah ke arah gurunya. Melihat hal ini, sang guru pun memukul sang anak. Apa yang terjadi selanjutnya? Tidak terima, sang anak melapor ke orang tua. Parahnya lagi, orang tua tidak mau minta klarifikasi dari guru, langsung saja melapor ke pihak berwajib dengan tuduhan penganiayaan. Jika sudah seperti ini, lantas dimanakah peran orang tua? Sungguh enak orang tua zaman sekarang. Urusan pendidikan di serahkan saja sepenuhnya ke pihak sekolah. Jika ada masalah, langsung lapor ke polisi. Enak benar. Padahal di hari akhir nanti, orang tua akan ditanyakan sejauh mana didikan yang diberikan kepada sang anak. 

Saya tidak bermaksud membenarkan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh para guru. Biar bagaimanapun, jika masih ada langkah tanpa kekerasan yang bisa ditempuh, maka itu lebih baik. Namun, yang ingin saya garis bawahi di sini adalah peranan orang tua yang tidak pernah mau melakukan introspeksi diri mengapa guru berbuat begitu. Seharusnya, ada komunikasi 2 arah yang dibangun antara orang tua dan guru. Jika setelah dilakukan pembicaraan ternyata guru yang salah, maka sang guru harus mengakuinya. Sebaliknya, jika ternyata memang anaknya yang bandel, sudah dinasehati berkali-kali tidak mau juga mendengar, maka secara gentle, orang tua harus mengakuinya bahwa itu kelalaiannya. Namun, sepertinya komunikasi antara guru dan orang tua sekarang sudah tidak seperti dulu lagi. Zaman sekarang, hubungan ke-2 pihak ibarat pimpinan dan karyawan. Pimpinan adalah orang tua dan karyawan adalah guru. Pimpinan (orang tua) menugaskan kepada sang guru untuk mendidik anaknya, jika tidak berhasil, maka sanksi akan diambil.

Sekali lagi, dengan memasukkan anak ke institusi pendidikan, bukan berarti tanggung jawab kita untuk mendidik anak telah selesai. Di sinilah letak kesalahan pendidikan kita dewasa ini. Tanggung jawab mendidik anak dibebankan kepada guru. Karena itu, tidak perlu kaget jika puluhan terobosan telah dibuat, ratusan tata tertib dirilis dan ribuan aturan telah ditetapkan, tetapi semuanya mental karena tidak semua pihak mampu bekerjasama dalam rangka menyukseskan aturan-aturan itu. Suksesnya penyelenggaraan aturan-aturan tersebut tidak bergantung pada guru saja, seperti yang dikatakan sebagian orang, tetapi juga melibatkan pihak lain, termasuk orang tua.

Saya bukan seorang guru. Orang tua saya pun bukan guru. Hanya petani biasa. Namun, dulu saat masih di bangku sekolah, orang tua saya selalu berpesan kepada saya untuk menjaga tingkah laku di sekolah dan selalu hormati guru. Bahkan, di beberapa kesempatan, orang tua saya mengatakan kepada pak guru saya “Jika anak saya ini nakal, pukul saja , Pak Guru. Jika memang perlu, nanti saya tambah di rumah.”
Inilah yang membuat saya merasa kasihan kepada pak guru dan ibu guru. Sudah gaji kecil, selalu disudutkan, dibawakan anak yang bandel karena orang tuanya tidak care, bahkan harus rela selalu menjadi pihak pesakitan jika harus berhadapan dengan orang tua murid.

Akhirnya, saya ingin mengutip pernyataan Jusuf Kalla tentang tawuran. Beliau mengatakan bahwa, “Siswa-siswa jadi tawuran karena kurang menghormati guru. Guru keras sedikit dianggap pelanggaran terus dilaporkan. Di era sebelumnya para pelajar sangat menghormati guru karena mendapat pendidikan disiplin yang cukup ketat. Namun, saat ini seperti ada nilai yang bergeser dalam pendidikan nasional karena lebih mendorong anak pada kemampuan kognitif.” Selain tidak hormat lagi kepada guru, peranan orang tua yang semakin apatis dan tergerus seiring perkembangan zaman hanya atas nama karir. Maka, lengkaplah sudah.

Salam Guru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Haha, Hihi, Huhu, Hehe, Hoho

Tentang Mutasi dan Varian Baru Virus COVID-19

Gagal Terpilih, Antipsikosis Menanti