Pagar
Benda yang satu ini adalah penjaga bangunan sekaligus menjadi batas wilayah sebuah bangunan. Pagar berfungsi sebagai penjaga bangunan karena menghalangi pihak-pihak yang tidak diinginkan, entah manusia atau hewan, untuk masuk ke area bangunan, misalnya rumah. Sedangkan fungsi penanda batas wilayah seolah menunjukkan daerah kekuasaan. Pagar juga menjadi pelindung yang penting bagi tanaman atau sesuatu yang memang begitu dijaga.
Namun, kadangkala keberadaan pagar menjelma menjadi sebuah pembatas interaksi sosial. Tak jarang kita lihat rumah-rumah besar yang berpagarkan tembok tinggi nan tebal. Tidak hanya itu, petugas pengamanan pun terus standby di muka rumah. Tembok tersebut tidak hanya membatasi area muka saja, tetapi juga melingkupi sekeliling bangunan. Dengan fenomena seperti ini, maka tak mengherankan jika sikap individualis semakin merajalela di kalangan khalayak berkemampuan tinggi.
[caption id="attachment_71" align="aligncenter" width="300"] Rumahnya hanya kelihatan atapnya (www.carapedia.com)[/caption]
Berbeda dengan kondisi di pedesaan. Pagar dari susunan bambu atau kayu yang dijajarkan secara rapi menjadi favorit. Setiap penghuni rumah bisa langsung berinteraksi dengan tetangga dengan mudah, tanpa perlu memasuki area tetangga. Tidak ada tembok tinggi yang dihiasi pecahan-pecahan beling. Alhasil, sikap sosial di masyarakat pedesaan memang terasa masih begitu tinggi.
[caption id="attachment_70" align="aligncenter" width="300"] Pagar sederhana dari susunan jajaran bambu (www.ninagenta.wordpress.com)[/caption]
Di sini, di Toledo, Ohio, saya jarang menemukan yang namanya pagar itu. Rata-rata rumah di sini tidak berpagar. Batas rumahnya hanya ditandai oleh jalanan masuk mobil. Bahkan, orang kaya sekalipun tidak menghadirkan benda yang satu ini untuk melindungi atau menandai area “kekuasaannya”. Hal ini tentu saja dipicu oleh tingkat keamanan yang begitu terjamin dan tidak adanya hewan-hewan liar yang berkeliaran.
[caption id="attachment_68" align="aligncenter" width="300"] Rumah tanpa pagar yang hanya dibatasi oleh jalur pedestrian (www.neighborcity.com)[/caption]
Diri kita ini ibarat sebuah rumah. Hati kita adalah pagar. Sekarang tinggal diri kita yang memilih apakah menyukai hati yang setinggi dan setebal tembok, atau serenggang potongan-potongan bambu, ataukah tidak berpagar sama sekali.
Jika Anda memilih yang pertama, maka itu pertanda yang kurang baik. Saking tebalnya, cahaya kebenaran pun akhirnya sukar menembusnya. Suara-suara indah dan menyentuh pun tidak bisa terdengar. Akibatnya, kita terkurung dalam ketebalan dan ketinggian pagar tembok yang kita bangun itu.
Jika kita memilih bentuk pagar yang renggang, maka ini tentu hal yang baik karena kita berupaya untuk melakukan filter terhadap hal-hal yang datang. Tidak semua informasi bisa langsung masuk ke dalam hati, tetapi informasi ini harus disaring dulu apakah sesuai dengan “lubang” pagar yang tersedia.
Nah, jika kita memilih tanpa pagar, maka ini kurang bagus juga karena bisa membuat semuanya lolos tanpa saringan. Informasi yang diberikan akan dengan mudah menembus sistem kontrol hati yang pada akhirnya menggoyahkan hati. Tentu saja hal ini tidak baik karena bisa menggerogoti konsistensi diri.
Namun, ada satu hal yang patut kita ingat. Ada atau tanpa pagar, setiap orang tetap harus menandai area rumahnya. Walau itu hanya dengan sebuah garis saja. Artinya apa? Setiap orang tetap punya privasi yang harus dihormati. Jangan sampai privasi ini dilanggar karena justru bisa menghancurkan pagar yang Anda bangun, walaupun pagar itu setinggi langit.
Salam.
Komentar
Posting Komentar