Sang Hafidz & Hijab
Namanya Anas. Saya tak tahu nama lengkapnya. Saat pertama kali bersua di mushalla kampus, saya berpikir bahwa dia adalah seorang American. Perawakannya yang sedang, berkulit putih, rambut perak, dan hidung mancung seakan mengamini kesan pertama saya itu. Nyatanya, Anas berasal dari Palestina. Anda mungkin sudah bisa menebak topik pertama yang saya lontarkan saat mengetahui bahwa dia dari Palestina. Yup…tentang kebiadaban Israel.
Sejak awal pertemuan itu, kami sering bertemu di mushalla saat akan melaksanakan shalat wajib. Pertemuan yang intens itulah yang membuat saya semakin sering terlibat dalam percakapan-percakapan bermacam topik.
Anas adalah seorang hafidz. Walaupun dia belum merampungkan 30 juz, namun menurut pengakuannya, dia sudah sampai juz ke-20. “But, some parts have been forgotten,” ungkapnya merendahkan diri. Karena kemampuannya inilah, saat Ramadhan lalu, dia diminta menjadi imam untuk memimpin shalat Tarawih dan Witir di masjid Saad, salah satu masjid terbesar di Toledo.
Namun, siapa sangka dia masih single. Saya sempat tak percaya saat di menyebutkan statusnya itu. Setelah menjawab pertanyaannya tentang status saya, pertanyaan yang sama pun saya utarakan kepadanya. “I’m single,” jawabnya.
Percakapan tentang status itu tidak berhenti sampai di situ. Saya memancingnya untuk menceritakan tentang rencana pernikahannya. Mungkin saja dia sudah punya calon atau batasan umur saat ingin menikah.
Tak disangka, dia dengan senyum mengembang bersedia menjawab pertanyaan saya. Dia mulai menceritakan perjalanannya dalam mencari calon pendamping hidupnya.
Anas mulai bercerita bahwa sebenarnya dia sudah hampir menikah dengan salah seorang muslimah yang tinggal di Cleveland. Kota itu terletak 4 jam perjalanan darat dari Toledo. Dia mengenalnya saat berkunjung ke Cleveland beberapa saat lalu. Melalui pertemuan singkat itulah, benih-benih cinta mulai tumbuh. Wanita yang dipilihnya pun sudah sesuai dengan kriterianya. Berjilbab benar, tidak berpakaian ketat, perilakunya halus, dan agamanya baik.
[caption id="attachment_138" align="aligncenter" width="189"] (www.sholihanurwulan.blogspot.com)[/caption]Akhirnya, setelah melakukan diskusi dengan masing-masing pihak yang melibatkan keluarga, kesepakatan pun didapatkan. Anas dan sang calon permaisuri berencana untuk menikah setelah ‘Iedul Fitri yang lalu.
Namun, apa dikata. Rencana tinggallah rencana. Harapan untuk segera mengakhiri masa lajang sepertinya masih tertangguhkan. Ada sesuatu yang terjadi secara tak terduga. Sesuatu yang sangat menohok hati Anas.
Wanita sang idaman hati itu ternyata memutuskan untuk melepaskan jilbabnya. Entah mengapa, tapi keputusan ini sukses membuat Anas berada dalam dilema. Di satu sisi, dia sudah sangat mencintai sang pujaan hati. Di sisi lain, Anas tidak membohongi dirinya bahwa salah satu faktor yang menyebabkan dia memilih sang wanita adalah faktor jilbab yang dikenakannya.
Anas benar-benar bersedih.
Anas tak menyerah. Dia tetap mencoba untuk menasehati sang wanita. Dia terus berusaha untuk menyadarkan sang wanita. Namun, kesedihan semakin berlipat-lipat.
“You just choose. I will not change my decision. If you do not agree, just leave me,” kata wanita itu.
Anas diberikan pilihan. Apakah tetap mau menerima sang wanita walaupun sang wanita telah melepaskan hijabnya atau mencari wanita lain sebagai pendamping hidupnya.
Sang hafidz sedang diuji. Dia sadar bahwa untuk mencari wanita lain bukanlah perkara mudah. Apalagi di negeri liberal seperti AS ini. Mencari sesosok wanita dengan jilbab yang benar, tingkah yang santun, dan pengetahuan agama yang baik tidaklah gampang.
Namun, Anas bukanlah seorang lelaki yang dibutakan oleh cinta. Anas adalah seorang pria dengan keteguhan prinsip yang luar biasa. Baginya, hijab adalah salah satu hal wajib yang harus dikenakan oleh wanita.
“Okay. Let’s break our relationship. I will not change my criteria as well. If you are not wearing hijab that means I will not accept you,” jawab Anas dengan tegas.
Anas telah memilih. Anas telah memenangkan pertarungan. Dia memutuskan segala rencana yang telah ada. Dia telah mengambil keputusan yang bagi sebagian orang sangat sukar. Namun, bagi Anas, pilihannya telah bulat. “Karena engkau telah melepaskan hijabmu, maka saya sudah tidak bisa menerimamu lagi,” kira-kira seperti itu pesan ketegasan sang Hafidz.
Saya hanya terdiam mendengarkan ceritanya.
Di depannya saya berdo’a, “Rabbana hablana min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrata a’yun waj’alna lil muttaqina imama.”
Komentar
Posting Komentar