COVID-19: Hindari Overklaim Obat
Sudah jamak diketahui bahwa penemuan suatu obat bukanlah
hal yang mudah dan singkat. Perlu uji-uji yang sangat kompleks untuk melengkapi
data keamanan (safety) dan kemanjuran (efficacy) dari kandidat
obat yang sedang dikembangkan. Tak jarang, butuh waktu bertahun-tahun dan dana
besar untuk menjamin bahwa obat yang masuk ke tubuh pasien benar-benar aman dan
mujarab.
Obat yang ideal adalah obat yang mampu menyembuhkan
penyakit dengan efek merugikan yang minimal. Banyak kandidat obat yang sukses
menunjukkan potensi penyembuhan terhadap penyakit tertentu, tetapi kemudian
gagal menunjukkan aspek keamanan yang memadai dan begitu pula sebaliknya. Dalam
protokol penemuan dan pengembangan obat yang ditetapkan oleh lembaga terkait,
misalnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Food and Drug Administration
(FDA), uji preklinik pada hewan coba dan klinik (uji pada manusia) menjadi
syarat utama yang harus dilakukan sebelum memberi klaim kemanjuran dan keamanan
kandidat obat.
Sejak dilaporkan pertama kali masuk ke Indonesia pada
tanggal 2 Maret 2020, saat itu pula banyak produk atau senyawa yang langsung
diklaim dapat mengobati infeksi ini. Artinya, hanya butuh waktu sekitar sebulan
per tanggal hari ini untuk menemukan obat anti SARS-CoV-2. Ini menjadi
indikator adanya kecenderungan anggapan yang berlebihan dalam penyediaan
informasi tentang anti COVID-19. Bahkan, beberapa langsung mengumumkan ke
publik walaupun hanya berdasarkan data simulasi dengan software tertentu.
Ada pula yang menyimpulkan kandidat obat yang sedang dikembangkannya dapat
menjadi pilihan obat atas infeksi ini hanya dari reasoning atas
fakta-fakta ilmiah yang sebelumnya telah established.
Di tingkat yang lebih tinggi, pemerintah juga telah berlaku
overclaim setelah mengumumkan impor "obat antivirus" korona
yaitu favipiravir dan klorokuin. Padahal, kedua obat ini sama sekali belum
direkomendasikan oleh berwenang. Walaupun belakangan diralat, informasi
prematur yang telah disampaikan sukses membuat kedua obat ini diserbu oleh
masyarakat. Hukum ekonomi pun berlaku. Alhasil, harga obat ini meningkat
berlipat-lipat.
Banyak pula beredar rilis yang menganjurkan agar
menggunakan tanaman A, B, dan C untuk mencegah serangan virus korona. Beragam
produk pun diklaim dapat menjadi pilihan dalam melindungi diri dari serangan
COVID-19. Hal ini patut disayangkan dikarenakan uji yang dilakukan belum
memadai, tetapi sudah diinformasikan dengan beragam bumbu yang cenderung
berlebihan.
Ditambah gejala konformitas di masyarakat yang terbentuk
dengan sangat mudah di masa pandemi ini, maka apapun yang disampaikan oleh para
narasumber langsung diterima tanpa ada kemampuan menyaringnya terlebih dahulu.
Jika ini terjadi, maka bahaya lain pun mengintai. Kesembuhan tidak diperoleh,
justru efek merugikan yang didapatkan. Kasus kematian akibat klorokuin fosfat
di Nigeria dan Amerika Serikat beberapa hari yang lalu sekiranya menjadi contoh
termutakhir betapa overclaim atas obat tertentu dapat berakibat fatal.
Pada titik ini, peran media pun patut dipertanyakan. Banyak
media yang menelan mentah-mentah apa yang disampaikan oleh narasumber tanpa melakukan
pengecekan lebih jauh atau sekedar mencari second opinion. Alhasil,
informasi prematur ini sampai di publik yang sedang panik. Karakteristik
kepanikan adalah hilangnya rasionalitas. Begitu berita ini muncul di publik,
maka karakteristik ini terlihat. Produk dan tanaman A, B, dan C pun hilang di
pasaran. Jikapun ada, harganya selangit.
Terkait hal ini, saya pun ingin menyampaikan kritik kepada
BPOM yang sampai sekarang terlihat pasif melihat klaim-klaim prematur ini.
Seyogyanya, sebagai otoritas tertinggi dalam registrasi, pengawasan dan surveillance
obat, maka BPOM seharusnya berperan lebih aktif mengedukasi masyarakat agar
tidak gampang percaya dengan klaim-klaim yang berseliweran tanpa dasar kuat
ini.
Tentu saja upaya penemuan obat baru dari para peneliti di
bidangnya tetap harus diapresiasi. Biar bagaimanapun, di tengah ketiadaan obat
anti COVID-19, penelitian-penelitian ini memberikan harapan. Eksplorasi lebih
dalam terbuka sangat lebar di masa akan datang. Namun, tetap perlu
kehati-hatian ekstra untuk mengklaim efikasi dan keamanan kandidat obat yang
sedang dikembangkan, termasuk untuk COVID-19. Hindari overklaim obat jika data
yang dimiliki belum memadai. Biar bagaimanapun, klaim atas kualitas suatu obat
seharusnya diberikan oleh lembaga yang ditunjuk, misalnya BPOM.
Sejauh ini, belum ada obat untuk penanganan
infeksi ini. Menjaga kesehatan diri, membiasakan diri mencuci tangan, makan
menu yang bergizi, menggunakan masker saat keluar rumah dan konsisten melakukan
physical distancing merupakan beberapa langkah yang dapat dilakukan
untuk meminimalisir paparan virus ini. Semoga pandemi ini segera berakhir.
Salam
Manchester, 31 Maret 2020
Komentar
Posting Komentar